Pelaksanaan Rakornas Pengendalian Gratifikasi 2016

Cetak

Peserta Rakornas Pengendalian Gratifikasi 2016 Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) Pengendalian Gratifikasi 2016 dilaksanakan pada 31 Oktober s.d. 3 November 2016 di Hotel Aston Bogor. Kegiatan ini diselenggarakan oleh Direktorat Gratifikasi Deputi Bidang Pencegahan KPK RI dengan dihadiri peserta sebanyak 130 orang terdiri dari ketua dan anggota Unit Pengendalian Gratifikasi (UPG) dari 28 kementerian/lembaga/organisasi/pemerintah daerah (KLOP).

Tujuan dilaksanakannya Rakornas Pengendalian Gratifikasi adalah untuk meningkatkan fungsi dan peran UPG serta memperkuat sinergi pencegahan korupsi melalui penguatan sistem dan pengendalian gratifikasi.

Rangkaian Rakornas Pengendalian Gratifikasi terbagi menjadi 5 sesi utama, yaitu Diskusi Seputar Gratifikasi (Gratification Update), Team Building (outbound), workshop, Diskusi Penguatan Pengendalian Gratifikasi, dan Seminar Membangun Spirit Perjuangan Melawan Gratifikasi.

 

Sesi Diskusi Seputar Gratifikasi (Gratification Update)

Sesi Diskusi Seputar Gratifikasi (Gratification Update) terbagi ke dalam 3 sesi, yaitu: Pengukuran Indeks Kepatuhan Program Pengendalian Gratifikasi (PPG); Aspek Hukum Gratifikasi; dan Pelaporan Gratifikasi.

Pengukuran Indeks Kepatuhan PPG akan diimplementasikan oleh KPK kepada seluruh KLOP pada Tahun 2017. Pengukuran ini dilakukan menggunakan metode evaluasi dan survei terhadap:

  1. Pemahaman ASN dan stakeholders mengenai gratifikasi, termasuk pemahaman proses dan mekanismenya, serta manfaat yang didapatkan dari PPG;
  2. Komitmen instansi terhadap pelaksanaan PPG;
  3. Ketersediaan aturan pengendalian gratifikasi serta peran UPG;
  4. Kepatuhan ASN dan stakeholders terhadap aturan pengendalian gratifikasi;
  5. Keterlibatan stakeholders; dan
  6. Kendala-kendala yang dihadapi.

Evaluasi dilakukan melalui penelitian dan penilaian terhadap proses dan perangkat implementasi PPG, sedangkan survei dilakukan secara sampling kepada seluruh tingkatan ASN (internal) dan stakeholders (eksternal).

Aspek Hukum Gratifikasi lebih menitikberatkan pada perbedaan antara suap, pemerasan, dan gratifikasi, serta definisi, klasifikasi, dan mekanisme pelaporan gratifikasi.

Gratifikasi diatur khusus dalam UU tersebut, yaitu pada Pasal 12b dan 12c, serta Peraturan KPK Nomor 2 Tahun 2014 tentang Pedoman Pelaporan dan Penetapan Status Gratifikasi, sebagaimana diubah dalam Peraturan KPK Nomor 06 Tahun 2015, dan Pedoman Pengendalian Gratifikasi. Mengingat definisi gratifikasi yang berarti sebagai pemberian dalam arti luas, maka dalam ranah Penyelenggara Negara dan Pegawai Negeri, gratifikasi perlu dibatasi karena sering kali berhubungan dengan kewajiban dan tugas serta jabatannya, sehingga gratifikasi terbagi menjadi dua bagian, yaitu gratifikasi yang wajib dilaporkan dan gratifikasi yang tidak wajib dilaporkan. Narasumber menyarankan agar setiap gratifikasi yang terjadi agar ditolak pada kesempatan pertama. Hal ini selain mengamankan diri karena terhindar dari praktik gratifikasi, juga menghindari diri dari kerepotan dengan urusan lapor-melapor gratifikasi kepada KPK.

Dari aspek hukum, gratifikasi yang tidak dilaporkan kepada KPK dalam kurun waktu 30 hari kerja akan berubah statusnya menjadi suap dan memiliki sanksi hukum pidana, sedangkan gratifikasi yang dilaporkan kepada KPK, jika pada suatu saat menjadi sebuah kasus pidana, maka pelapor akan dibebaskan dari tuntutan pidana.

Terkait pelaporan gratifikasi, KPK telah meluncurkan aplikasi berbasis web bernama Gratifikasi Online (GOL) yang dapat diakses melalui alamat http://gol.kpk.go.id. Dengan telah adanya aplikasi online tersebut, sesuai pribahasa tidak ada gading yang tak retak, maka KPK juga sedang mengembangkan sistem informasi gratifikasi (SIG) yang nantinya UPG yang telah memiliki aplikasi sendiri dapat langsung terhubung dengan KPK secara online. Dengan adanya aplikasi tersebut pula, maka  peran UPG masih diperlukan sebagai mitra Direktorat Gratifikasi KPK, antara lain terkait adanya laporan yang tidak melalui GOL berupa hardcopy, sosialisasi PPG di instansi masing-masing, dan inovasi-inovasi lainnya dari UPG. Perlu juga dilakukan upgrading atas peran UPG, yaitu sebagai pengambil keputusan. Skema pelaporan gratifikasi tidak mengalami perubahan, namun ditekankan bahwa UPG harus menyampaikan rekapitulasi atas hasil reviu UPG terhadap laporan gratifikasi yang diterima dari Pelapor.

Disebutkan juga bahwa tren pelaporan gratifikasi pada tahun 2016 relatif tidak mengalami deviasi bila dibandingkan dengan tahun 2015 dengan persentase jumlah laporan terbesar berasal dari instansi kementerian sebesar 36,3% selisih 1% dengan BUMN/BUMD. Jumlah benda gratifikasi yang menjadi milik negara sebesar 32%, milik penerima 3%, sebagian milik negara 2%, non SK 46%, dan dalam proses 17%. Nilai total benda gratifikasi dalam bentuk uang yang menjadi milik Negara selama kurun waktu tahun 2016 sebesar Rp12.549.104.013,00, sedangkan yang berbentuk barang senilai Rp401.744.196,00. Benda gratifikasi berbentuk uang yang menjadi milik Pelapor sebesar Rp7.720.806.743,00, sedangkan yang berbentuk barang senilai Rp2.750.547.463,00.

Disampaikan pula bahwa untuk mendukung Sistem Pengendalian Gratifikasi (SPG), maka tim UPG diupayakan mengikuti pembelajaran dari Anti-Corruption Learning Center (ACLC) menggunakan metode e-learning gratifikasi yang dapat diakses di website KPK.

Sesi Workshop Pengalaman Pengendalian Gratifikasi di Kementerian/ Lembaga

Narasumber yang dihadirkan oleh KPK dalam Workshop Pengalaman Pengendalian Gratifikasi di Kementerian/Lembaga, yaitu:

  1. Prof. Dr. M Guntur Hamzah, SH, MH, Sekjen Mahkamah Konstitusi;
  2. Robert Gonijaya, Inspektur VII Kemenkeu;
  3. M. Jasin, Irjen Kemenag;
  4. Arry Widiatmoko, Deputi Komisioner Bidang Audit Internal Manajemen Resiko dan Pengendalian Kualitas, Otoritas Jasa Keuangan (OJK); dan
  5. Drs. H. Purwadi, Apt, MM, ME., Sekretaris Itjen Kemenkeu.

Inspektur VII Kemenkeu menyampaikan bahwa UPG Kemenkeu terdiri dari dua bagian, yaitu UPG Koordinator yang berkedudukan di Inspektorat Jenderal dan UPG Unit yang berkedudukan di unit-unit kerja termasuk UPT dan Kantor Wilayah. Disampaikan pula bahwa perlu adanya platform aplikasi online UPG yang secara nasional sama agar memudahkan dalam pelaporan dan penanganannya.

Deputi dari OJK menyampaikan bahwa UPG perlu gencar dalam melakukan sosialisasi PPG, karena yang terpenting adalah memperbaiki manusianya, bukan hanya tools-nya saja. Sosialisasi juga dilakukan kepada stakeholders yang kebanyakan bertindak sebagai pihak pemberi gratifikasi, perlu mengetahui esensi dari pengendalian gratifikasi agar tidak memberikan gratifikasi karena menyusahkan penerimanya yang harus melaporkan gratifikasi kepada KPK atau UPG.

Inspektur Jenderal Kemenag yang merupakan mantan KPK melakukan pembenahan terutama pada unit-unit Kantor Urusan Agama (KUA) dengan mengubah sistem untuk mengurangi terjadinya praktik gratifikasi oleh penghulu. Nikah yang dilakukan di KUA tidak dikenakan biaya atau gratis, sedangkan bila di luar KUA tarif yang dikenakan sebesar Rp600.000,00 dengan cara menyetorkan melalui bank yang telah ditunjuk. Dengan adanya sistem tersebut diharapkan angka gratifikasi dapat ditekan dan menghilang.

Sesi Workshop Pengalaman Pengendalian Gratifikasi di BUMN dan BUMD

Narasumber dalam Workshop Pengalaman Pengendalian Gratifikasi di BUMN dan BUMD, yaitu:

  1. Parulin Sihotang, Deputi Pengendalian Keuangan, SKK Migas
  2. Irfan Setiadi, PT Pertamina (Persero);
  3. Dede Hidayat, PT PLN;
  4. A. Nasrullah (Bank BJB);
  5. A. Tossin Sutawikara (Pupuk Indonesia Holding Company); dan
  6. A. Shiddiq Baharuddin (PT Bank Mandiri (Persero) Tbk.

Pengendalian gratifikasi di SKK Migas dapat terkendali salah satunya dengan adanya sistem bernama Centralized Integrated Vendor Database (CIVD). Sistem online database tersebut digunakan untuk menilai kualifikasi penyedia barang/jasa secara terpusat dan terintegrasi, termasuk data kepemilikan dan sanksi yang dikenakan. Kontrak tersebut adalah kontrak bersama yang diikuti oleh 14 vendor.

Pengendalian gratifikasi di PT PLN dilakukan dengan mengidentifikasi potensi gratifikasi pada semua proses bisnis dan membuat komitmen dengan vendor terkait pengendalian gratifikasi, sedangkan di Bank Mandiri membangun change agents di tiap-tiap unit kerja. Bank Mandiri menggunakan sumber daya yang cukup besar untuk membangun integritas dan menerapkan ketegasan terhadap adanya fraud. Jika terjadi fraud pada sisi integritas seperti pencurian atau menerima suap, ditindaklanjuti dengan pemecatan dan dilaporkan kepada aparat penegak hukum.

Seminar Membangun Spirit Perjuangan Melawan Gratifikasi

Seminar Membangun Spirit Perjuangan Melawan Gratifikasi dibagi dalam empat sesi, yaitu:

  1. Pemidanaan Delik Gratifikasi.
  2. Pengendalian Gratifikasi sebagai Strategi Pencegahan Korupsi.
  3. Tanggung Jawab Masyarakat Sipil dan Swasta dalam Pengendalian Gratifikasi.

Sesi mengenai Pemidanaan Delik Gratifikasi menampilkan narasumber: Laode M. Syarif, S.H., LI.M., Ph.D. (Wakil Ketua KPK), Ariawan Agustiartono, S.H., M.H. (Penuntut Umum KPK), dan Djoko Sarkowo, S.H., M.H. (Mantan Hakim Agung).

Ariawan Agustiartono, S.H., M.H. mengatakan bahwa Pemidanaan Delik Gratifikasi merupakan delik sapujagat untuk menjerat dan merampas harta milik Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara yang memiliki harta yang tidak sesuai dengan profilnya, seperti delik unexplained wealth (kekayaan yang tidak dapat dijelaskan asal usulnya) pada kasus Gayus Tambunan, Dhana Widiatmika, dan Udar Pristono. Selain itu delik gratifikasi digunakan untuk pemberian-pemberian kepada Pegawai Negeri atau Penyelenggara Negara yang tidak terdapat unsur transaksional. Oleh karena itu gratifikasi dapat dikatakan sebagai suatu suap yang bersifat pasif atau suap yang tertunda karena tidak mensyaratkan adanya transaksional. Alat bukti yang digunakan pada delik gratifikasi terutama berhubungan dengan unexplained wealth, antara lain LHKPN dan SPT Pajak. Untuk memperoleh bukti tersebut diperlukan jejaring informasi dari BPN, Pajak, PPATK, dan Imigrasi.

Djoko Sarkowo, S.H., M.H. mengatakan bahwa pasal gratifikasi digunakan sebagai pasal pembuktian terbalik. Terdakwa harus memberikan bukti dari mana dirinya memperoleh harta. Terkait hal ini perlu ada turunan dari UU No. 31 Tahun 1999 dan UU 20 No. 20 Tahun 2001.

Sesi Pengendalian Gratifikasi sebagai Strategi Pencegahan Korupsi menampilkan narasumber: M. Jasin (Irjen Kemenag), Ganjar Pranowo (Gubernur Jateng), dan Sudirman Said (Menteri ESDM Periode Oktober 2014-2016).

M. Jasin memberikan poin utama dalam pengendalian gratifikasi, yaitu dengan perlunya mengubah mind and cultural set pelayanan. Dalam hal ini Kemenag melakukan perubahan sistem cultural set, salah satunya dalam pelayanan pernikahan pada unit-unit Kantor Urusan Agama (KUA) dengan mengubah sistem untuk mengurangi terjadinya praktik gratifikasi oleh penghulu.

Sudirman Said mengatakan bahwa gerakan yang datang dari hati nurani (kebaikan) tidak akan hilang, sedangkan gerakan keburukan itu bagaikan pulsa telepon, di mana ia akan habis dan akan dapat hidup lagi jika diisi.

Narasumber pada sesi Tanggung Jawab Masyarakat Sipil dan Swasta dalam Pengendalian Gratifikasi: Dr. Waluyo (Komisioner KASN) dan Rimawan Pradipto (Kepala Laboratorium Ilmu Ekonomi UGM).

Waluyo mengatakan perlunya pengendalian gratifikasi di sektor swasta disebabkan beberapa tantangan di kalangan masyarakat yang beranggapan bahwa menolak pemberian bisa dianggap menolak rezeki, sebagian masyarakat mengharapkan diberikan oleh-oleh di saat kerabat sedang bepergian, perusahaan swasta permisive dan mudah kompromi di saat proses perizinan tertunda dari jadwal awal yang seharusnya, Pelayanan proses administrasi pemerintah yang belum profesional, dan perilaku memperlambat proses bisa menjadi pemicu jalan pintas dengan memberi gratifikasi.

Pengendalian gratifikasi di sektor swasta dapat dilakukan secara internal maupun eksternal, antara lain penerapan kode etik dan perilaku, penciptaan lingkungan kerja yang kondusif untuk berbisnis yang etis, pembentukan komite etik, pengendalian yang ketat terhadap pemberian a.n. perusahaan, bekerja sama dengan asosiasi dan melaporkan melalui lapor.go.id atau Saber Pungli apabila ada indikasi pemerasan atau diperlambatnya pengurusan proses administrasi dengan lembaga pemerintah pemberi izin.

Rimawan Pradipto menyampaikan bahwa munculnya sikap dan budaya korupsi di Indonesia disebabkan tidak seragamnya sistem insentif di sektor publik. Sebagai contoh sistem insentif yang ada pada KPK atau Bank Indonesia yang menganut sistem single salary dapat membuktikan praktik korupsi dapat menurun atau tidak ada sama sekali.

 

Sesi Tokoh Inspiratif “Berbagi Pengalaman dan Tantangan Melakukan Perubahan”

Pada sesi terakhir KPK menghadirkan narasumber Ignatius Jonan (Menteri ESDM), Laode M. Syarif (Pimpinan KPK RI), dan Novel Baswedan (Penyidik KPK RI).

Ignatius Jonan sharing pengalamannya saat menjabat Direktur PT KAI dan Menteri Perhubungan, bahwa pemimpin itu menjadi contoh. Terhadap laporan-laporan yang disampaikan kepada seorang pemimpin, jangan sampai hanya menandatangani tapi tidak membaca apa yang ditandatanganinya. Kerjakan yang mampu kita kerjakan sebaik-baiknya karena kita tidak tahu kapan hidup ini akan berakhir. Terkait penertiban, sebagai pemimpin dan yang memiliki kewenangan, kita tidak boleh pilih kasih, karena sekali pilih kasih maka “akan habis”. Menjadi pemimpin harus siap dikorbankan. Korupsi itu terjadi karena faktor kebutuhan dan juga keserakahan, namun banyak orang menilai bahwa hidup ini hanyalah untuk mengejar materi. Padahal hidup ini semata-mata bukan diukur dengan materi, banyak hal indah di dunia ini yang tidak bisa diukur dengan uang.

Penyidik KPK RI, Novel Baswedan menyampaikan bahwa kita perlu menjunjung nilai integritas dan kejujuran, terutama terkait dengan keadaan yang berisiko. Selain integritas, diperlukan juga nilai spiritual. Contohnya adalah orang yang melakukan korupsi akan menyesuaikan pola hidupnya agar menikmati korupsinya. Justru dengan ditangkapnya koruptor, KPK RI dan aparat penegak hukum lain menolong koruptor tersebut untuk berhenti melakukan korupsi. Perlu disadari bahwa kita menolong kawan-kawan kita yang akan menerima gratifikasi dengan cara mencegahnya untuk menerima, itu sisi positifnya sebagai penegak hukum bahwa kita telah berbuat baik. Dari hal-hal kecil seperti penerimaan/pemberian gratifikasi, lama-kelamaan akan menjadi kebiasaan dan bahkan dapat menjadi transaksional (penyuapan).