Berdasarkan UU No. 20 Tahun 2001 Pasal 12b ayat (1), setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap suap apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya, dengan ketentuan sebagai berikut: yang nilainya Rp10 juta atau lebih, pembuktian bahwa gratifikasi tersebut bukan merupakan suap dilakukan oleh penerima gratifikasi (pembuktian terbalik); yang nilainya kurang dari Rp10 juta, pembuktian bahwa gratifikasi tersebut bukan suap dilakukan oleh penuntut umum.
Menteri Kelautan dan Perikanan telah mengatur tentang pengendalian gratifikasi melalui Permen KP Nomor 12 Tahun 2021 tentang Pengendalian Gratifikasi di Lingkungan Kementerian Kelautan dan Perikanan. Untuk mempermudah dalam pengendaliannya, Menteri Kelautan dan Perikanan membentuk Unit Pengendalian Gratifikasi (UPG) Kementerian Kelautan dan Perikanan. Di dalam peraturan tersebut diwajibkan pula kepada unit Eselon I dan Unit Pelaksana Teknis (UPT) untuk membentuk UPG di lingkungan kerjanya masing-masing.
Menurut UU No. 20 tahun 2001, penjelasan pasal 12b ayat (1), gratifikasi adalah pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang rabat (diskon), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya. Gratifikasi tersebut baik diterima di dalam negeri maupun di luar negeri, dan dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik ataupun tanpa sarana elektronik.
Korupsi sering kali berawal dari kebiasaan yang tidak disadari oleh setiap pegawai negeri dan pejabat penyelenggara negara, misalnya penerimaan hadiah oleh pejabat penyelenggara/pegawai negeri dan keluarganya dalam suatu acara pribadi, atau menerima pemberian suatu fasilitas tertentu yang tidak wajar. Hal semacam ini semakin lama akan menjadi kebiasaan yang cepat atau lambat akan memengaruhi pengambilan keputusan oleh pegawai negeri atau pejabat penyelenggara negara yang bersangkutan. Banyak orang berpendapat bahwa pemberian tersebut sekadar tanda terima kasih dan sah-sah saja. Namun, perlu disadari bahwa pemberian tersebut selalu terkait dengan jabatan yang dipangku oleh penerima serta kemungkinan adanya kepentingan-kepentingan dari pemberi, dan pada saatnya pejabat penerima akan berbuat sesuatu untuk kepentingan pemberi sebagai balas jasa.
Ya, pidana bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara sebagaimana dimaksud dalam UU No. 20 Tahun 2001 Pasal 12b ayat (1) adalah: Pidana penjara seumur hidup dan pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun, dan pidana denda paling sedikit Rp200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Tidak, sebagaimana telah diatur dalam UU No. 20 Tahun 2001 Pasal 12C, sanksi atau ancaman tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 12b ayat (1) tidak berlaku jika pegawai negeri atau penyelenggara negara melaporkan tindakan gratifikasi kepada UPG KKP atau KPK RI.
Berdasarkan Permen KP Nomor 12 Tahun 2021, gratifikasi wajib dilaporkan kepada UPG Kementerian paling lambat 14 (empat belas) hari kerja sejak terjadinya peristiwa gratifikasi tersebut.
Pelaporan gratifikasi disampaikan melalui Aplikasi Gratifikasi Online. Apabila di tempat Pelapor Gratifikasi tidak tersedia layanan internet, maka laporan gratifikasi dapat disampaikan kepada UPG di unit kerja Pelapor atau dengan menggunakan layanan kurir/pos kepada UPG KKP.
Benda gratifikasi yang sifatnya mudah busuk, seperti makanan atau minuman, jika diterima, wajib diserahkan kepada pihak yang lebih membutuhkan, seperti panti asuhan, lembaga sosial masyarakat, dsb.
Benda gratifikasi selain tersebut, seperti namun tidak terbatas pada uang tunai dan/atau hadiah/cinderamata, agar disimpan terlebih dahulu oleh Wajib Lapor Gratifikasi dan didokumentasikan sebagai lampiran pelaporan gratifikasi. Status benda tersebut akan diputuskan setelah dikeluarkannya penetapan status oleh KPK RI atau UPG KKP, apakah menjadi milik penerima atau diserahkan kepada Negara atau KKP.
Uang kembalian dari pembayaran atas tarif PNBP di loket pelayanan seringkali bernilai kecil (recehan) dan enggan/tidak diambil oleh si pengurus dokumen. Uang tersebut menjadi "uang tak bertuan", sehingga tidak berhak dimiliki siapapun. Cara efektif untuk mengatasi hal tersebut adalah dengan menyediakan kotak/tempat untuk mengumpulkan uang tersebut di loket pelayanan dan setiap 14 hari sekali dilakukan rekapitulasi nilainya untuk dilaporkan kepada UPG KKP karena merupakan gratifikasi. Tindak lanjut atas pemanfaatan uang tersebut akan ditentukan kemudian melalui surat penetapan status benda gratifikasi dari KPK atau UPG KKP.
Pembuatan kotak tersebut merupakan salah satu upaya pencegahan gratifikasi dan melatih integritas para petugas pelayanan.
Berdasarkan UU No. 28 Tahun 1999, Bab II Pasal 2, penyelenggara negara meliputi pejabat negara pada lembaga tertinggi negara; pejabat negara pada lembaga tinggi negara; menteri; gubernur; hakim; pejabat negara lainnya seperti duta besar, wakil gubernur, bupati; wali kota dan wakilnya; pejabat lainnya yang memiliki fungsi strategis seperti: komisaris, direksi, dan pejabat struktural pada BUMN dan BUMD; pimpinan Bank Indonesia; pimpinan perguruan tinggi; pejabat eselon I dan pejabat lainnya yang disamakan pada lingkungan sipil dan militer; jaksa; penyidik; panitera pengadilan; dan pimpinan proyek atau bendaharawan proyek.
Sementara yang dimaksud dengan pegawai negeri, sesuai dengan UU No 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan No. 20 Tahun 2001, meliputi: pegawai pada MA dan MK; pegawai pada kementerian/departemen dan LPDN; pegawai pada Kejagung; pegawai pada Bank Indonesia; pimpinan dan pegawai pada sekretariat MPR, DPR, DPD, DPRD Provinsi/Dati II; pegawai pada perguruan tinggi; pegawai pada komisi atau badan yang dibentuk berdasarkan UU, Kepres, maupun PP; pimpinan dan pegawai pada sekretariat presiden, sekretariat wakil presiden, dan seskab dan sekmil; pegawai pada BUMN dan BUMD; pegawai pada lembaga peradilan; anggota TNI dan Polri serta pegawai sipil di lingkungan TNI dan Polri; serta pimpinan dan pegawai di lingkungan pemerintah daerah daerah tingkat I dan II.
Formulir pelaporan gratifikasi dapat diperoleh di Sekretariat UPG KKP atau dapat pula diunduh dari website UPG KKP, silakan klik di sini.
Anda dapat menghubungi: Sekretariat UPG KKP di Gedung Mina Bahari II Lantai 5, Jl. Medan Merdeka Timur No.16, Jakarta Pusat, 10110, atau dengan mengirimkan email ke alamatAlamat email ini dilindungi dari robot spam. Anda memerlukan Javascript yang aktif untuk melihatnya. atau pada kolom Hubungi Kami di website UPG KKP di alamat https://upg.kkp.go.id.
Peristiwa gratifikasi yang dilaporkan melalui KPK RI tanpa melalui UPG KKP atau UPG pada unit kerjanya tetap dianggap sebagai pelaporan gratifikasi yang sah.
Peristiwa tersebut merupakan gratifikasi yang wajib dilaporkan dan berkaitan dengan pemberian fee bank sebagaimana disebutkan dalam edaran Pimpinan KPK dan Inspektur Jenderal KKP. Silakan terlebih dahulu dilaporkan melalui aplikasi GOL dengan penjelasan kronologis yang lengkap. Setelah laporan terkirim, tunggu hingga dikeluarkannya surat putusan dari Pimpinan KPK. Di dalam putusan tersebut akan diarahkan ke mana disalurkannya. KPK memiliki nomor rekening khusus untuk menyetorkan gratifikasi ke Kas Negara.
Penerimaan parsel dari stakeholder atau pengguna jasa merupakan gratifikasi yang wajib dilaporkan, karena berhubungan dengan tugas dan kewajiban pelayanan kepada masyarakat. Berapa pun nilainya gratifikasi yang masuk dalam kategori ini wajib dilaporkan. Untuk itu, tolak gratifikasi pada kesempatan pertama. Dapat diterima apabila kondisi tidak memungkinkan untuk menolak. Jika benda gratifikasi berupa makanan/minuman yang memiliki masa kedaluwarsa, dapat ditindaklanjuti secara langsung dengan menyalurkannya kepada panti sosial (panti asuhan, jompo, dan sebagainya), kemudian dilaporkan pada aplikasi GOL dengan melampirkan seluruh foto/dokumentasi benda dimaksud, dokumentasi serah terima, dan tanda serah terimanya.
Suap dan pungli/pemerasan bukanlah gratifikasi.
Dalam kasus suap dan pemerasan, terdapat kata kunci, yaitu adanya transaksi atau deal di antara kedua belah pihak sebelum kasus terjadi, sedangkan dalam kasus gratifikasi tidak ada. Gratifikasi lebih sering dimaksudkan agar pihak petugas layanan dapat tersentuh hatinya, agar di kemudian hari dapat mempermudah tujuan pihak pengguna jasa, namun hal tersebut tidak diungkapkan pada saat pemberian terjadi. Istilah ini dapat disebut dengan "tanam budi" si pengguna jasa kepada pemberi layanan.
Pemberian gratifikasi oleh pengguna jasa kepada petugas pelayanan merupakan gratifikasi yang wajib dilaporkan, karena berkaitan dengan tugas dan jabatan dalam pelayanan kepada masyarakat dan berpotensi menimbulkan benturan kepentingan. Berapa pun nilainya, gratifikasi yang memenuhi unsur tersebut wajib dilaporkan.
Sebagaimana Surat Edaran Pimpinan KPK Nomor: B/1939/GAH.00/01-10/04/2020, tanggal 14 April 2020 perihal Penerimaan Sumbangan/Hibah dari Masyarakat oleh Lembaga Pemerintah yang diterbitkan adanya keraguan pada instansi pemerintah mengenai sumbangan bencana terkait wabah pandemic Covid-19. Di dalam edaran tersebut disebutkan bahwa sumbangan bantuan bencana dalam pelbagai bentuk sepanjang ditujukan kepada Kementerian/Lembaga/Pemerintah Daerah maupun institusi pemerintah bukan termasuk gratifikasi sebagaimana diatur dalam Pasal 12B Undang-undang No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Sumbangan bantuan bencana semacam ini dapat diterima dan tidak perlu dilaporkan, namun perlu dipastikan bahwa tujuan pemberian sumbangan adalah ditujukan kepada lembaga/institusi, bukan kepada individu pegawai negeri/penyelenggara negara dan diadministrasikan dengan baik.