Sosialisasi Pembangunan Budaya Integritas dan Program Pengendalian Gratifikasi (PPG) di Lingkungan KKP dilaksanakan pada tanggal 24 Agustus 2017 di Ruang Pertemuan PPN Karangantu yang dihadiri oleh sebanyak 48 orang pegawai di lingkungan PPN Karangantu.
Materi sosialisasi pada sesi pertama, yaitu Pembangunan Budaya Integritas disampaikan oleh Inspektur V, Drs. Cipto Hadi Prayitno yang membahas tentang butir-butir arahan Menteri Kelautan dan Perikanan terkait integritas. Semenjak KKP dipimpin oleh Ibu Susi Pudjiastuti, KKP masuk ke dalam era perubahan dan beliau siap memimpin perubahan tersebut. Mindset ASN KKP harus diubah dan tidak ada tempat bagi orang-orang yang berpikiran sempit dan picik. Perubahan tersebut dimulai dari dibangunnya integritas para pegawai (individu) sehingga para individu yang berintegritas ini nantinya akan mampu membawa organisasi berintegritas pula. Hal ini senada dengan butir kedua arahan Bu Susi bahwa KKP adalah integritas, di mana setiap ASN KKP harus selalu menunjukkan sikap dan perilaku yang terpuji dan bermartabat serta menjaga akuntabilitas dengan good attitude dan appropriate manner. Disampaikan pula bahwa KKP telah bertransformasi menjadi kementerian yang disegani dan diperhitungkan, maka mental positif dan sikap sportif harus terus ditingkatkan. Menjadi pegawai di KKP perlu melakukan pengabdian panjang yang tidak selesai begitu saja setelah menteri atau pejabatnya sudah tidak bertugas lagi. Untuk itu perlu komitmen dan dedikasi yang dapat ditunjukkan melalui ketaatan pada proses dan sistem, bukan hanya bergantung pada orang lain. Semua program KKP yang dilaksanakan harus transparan, bersih, bebas kick back, dan dapat dirasakan manfaatnya oleh masyarakat. Pengalokasian dan penggunaan anggaran harus jelas efisien, dan tepat sasaran. Dalam butir menteri tersebut disampaikan pula bahwa seluruh jajaran KKP harus memiliki perhatian dan kepedulian yang tinggi dalam menjalankan tugasnya, perlu melakukan studi, perbandingan, dan evaluasi yang jujur untuk memastikan kemanfaatan program yang dilaksanakan KKP.
Dengan arahan Menteri tersebut, KKP melaksanakan langkah-langkah strategis dengan menyusun Permen KP Nomor 31/PERMEN-KP/2016 tentang Pembangunan Integritas di Lingkungan KKP dan Kepmen KP Nomor 11/KEPMEN-KP/2016 tentang Komite Integritas KKP. Hal yang paling utama adalah membentuk para pimpinan untuk menjadi role model yang dapat menjadi teladan dan contoh bagi seluruh jajaran pegawai KKP. Jika hal ini dilakukan, maka langkah selanjutnya dalam membangun integritas akan mudah. Langkah lainnya adalah dengan perubahan manajemen SDM, antara lain melakukan assessment pada penerimaan pegawai dan lelang jabatan, revitalisasi pelaporan LHKPN dan LHKASN, serta dilakukan presensi online.
Selain perubahan dalam bidang manajemen SDM, KKP telah melakukan Program Pengendalian Gratifikasi (PPG), penerapan Whistleblowing System (WBS), pembentukan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP), serta pelaksanaan retreat setiap semester untuk mengevaluasi dan merencanakan langkah strategis KKP selanjutnya. Hasil retreat yang efektif dan efisien di antaranya adalah terkait penghematan anggaran. Sebagai langkah pencegahan, unit-unit kerja setiap Eselon I menyusun manajemen risiko KKN dan beberapa unit kerja percontohan dibangun sebagai Zona Integritas menuju Wilayah Bebas dari Korupsi (WBK) atau Wilayah Birokrasi Bersih dan Melayani (WBBM). Pencegahan korupsi lainnya adalah peran Aparat Pengawasan Internal Pemerintah (APIP), yaitu Inspektorat Jenderal sebagai consulting partner melalui probity audit yang akan mendampingi sejak dimulainya proses hingga kemanfaatan sebuah program/kegiatan. Seluruh strategi tersebut didukung pula oleh peran Tunas Integritas KKP yang saat ini berjumlah 168 orang yang tersebar di seluruh unit Eselon I lingkup KKP yang diharapkan dapat menjadi teladan bagi pegawai lainnya.
Mengapa integritas begitu penting bagi sebuah organisasi? Menjawab hal ini Inspektur V mengilustrasikan tentang bagaimana kokohnya Tembok Besar Cina sebagai benteng pertahanan di masa Dinasti Ming yang kemudian dapat “runtuh” disebabkan lemahnya integritas pasukan. Benteng yang sangat kokoh yang dibangun selama 2.000 tahun dengan penuh pengorbanan pun dapat ditembus dengan mudah oleh musuh hanya dengan penyuapan, tanpa perlawanan senjata. Dari ilustrasi tersebut terlihat bahwa begitu pentingnya integritas individu sebagai benteng pertahanan yang pertama bagi sebuah organisasi.
Inspektur V memberikan fakta-fakta terjadinya tindak pidana korupsi di Indonesia di berbagai sektor pemerintahan, baik perhubungan, pendidikan, perminyakan, termasuk KKP, sebagai contoh dari lemahnya integritas individu dan organisasi. Saat ini KKP mendapatkan opini dari BPK “disclaimer” atas Laporan Keuangan KKP pada Tahun 2016. Penyebab munculnya opini tersebut adalah lemahnya SDM KKP dalam perencanaan dan pengelolaan anggaran yang tidak cermat.
Dari gambaran tersebut, disimpulkan bahwa terdapat tiga isu strategis SDM Indonesia, yaitu bahwa saat ini Indonesia sedang mengalami krisis integritas, etos kerja yang rendah, dan budaya gotong royong yang luntur. Oleh karena itu Presiden RI mencanangkan revolusi mental yang terdiri dari tiga pilar, yaitu integritas, kerja keras, dan gotong royong. Terhadap pilar-pilar tersebut Menteri KP menjabarkannya ke dalam nilai-nilai KKP, yaitu smart, akuntabel, integritas, dan loyalitas (SAIL) yang didukung dasar hukum pembangunan budaya integritas sebagaimana disebutkan di awal.
Bangsa ini tidak kekurangan orang pintar, tapi kekurangan orang jujur!
Pada sesi kedua, materi Sosialisasi PPG disampaikan oleh Dr. Ir. Ono Juarno, M.Sc. dan Yan Purwadi Kurniawan, S.St.Pi. Materi dibuka dengan latar belakang perlunya pengaturan terhadap tindakan gratifikasi. Gratifikasi sebagai salah satu dari tujuh unsur tindak pidana korupsi diatur dalam Pasal 12b dan Pasal 12c ayat (1) Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah terakhir kalinya melalui Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi. Pada awalnya praktik pemberian (gratifikasi) merupakan hal wajar sebagai tanda terima kasih dan hal ini adalah sah. Pemberian tersebut antara lain terjadi pada peristiwa spesial keagamaan dan budaya, sebagai ekspresi persahabatan dalam pergaulan, ataupun sebagai wujud terima kasih kepada teman dan keluarga berkaitan dengan etika atau adat ketimuran di Indonesia. Tanpa disadari seiring berjalannya waktu, kebiasaan tersebut lama-kelamaan menjadi perilaku di bawah sadar, bahkan sering kali ada hubungannya dengan jabatan dan ada kemungkinan dapat menimbulkan benturan kepentingan (conflict of interest) di antara pelakunya. Terkait latar belakang tersebut disampaikan pengertian gratifikasi sebagai pemberian dalam arti yang luas, beserta bentuk-bentuk dari gratifikasi tersebut, sehingga apapun yang diterima di dalam maupun di luar negeri baik yang dilakukan dengan ataupun tanpa menggunakan sarana elektronik dapat disebut sebagai gratifikasi.
Disampaikan pula perbedaan antara gratifikasi dengan suap dan pemerasan. Praktik suap adalah tindakan di mana orang yang berkepentingan dalam suatu urusan permisive untuk melakukan sesuatu, sedangkan pemerasan adalah kebalikannya, yaitu pihak yang mempunyai kewenanganlah yang permisive untuk meminta. Pada kedua tindakan tersebut ada sebuah transaksional di antara kedua pihak dan biasanya terjadi kesepakatan, sedangkan tindakan gratifikasi tidak ada transaksi kesepakatan di kedua belah pihak dan pelaku sifatnya permisive untuk menerima.
Berdasarkan pedoman dari KPK RI, gratifikasi dibagi menjadi dua klasifikasi, yaitu gratifikasi yang wajib dilaporkan dan gratifikasi yang tidak wajib dilaporkan. Mengapa gratifikasi wajib dilaporkan? Selain latar belakang yang disebutkan di atas, ada alasan mengapa ada gratifikasi yang wajib dilaporkan? Jika dikaitkan dengan aspek penindakan, terdapat risiko besar yang akan didapatkan oleh penerima gratifikasi, yaitu bisa saja penerimaan tersebut dapat dianggap suap. Alasan lainnya bahwa ASN perlu menjalankan prinsip kehati-hatian dalam penerimaan gratifikasi karena dapat berkaitan dengan jabatan dan bertentangan dengan kewajiban atau tugasnya. Hukuman yang diberikan bagi penerima maupun pemberi gratifikasi sebagaimana diatur dalam Pasal 12b dan Pasal 12c Undang-undang tipikor di atas sangatlah berat, di mana penerima gratifikasi dapat dipidana penjara seumur hidup atau 4-20 tahun, atau denda sebesar 200 juta s.d. satu milyar rupiah, sedangkan pemberi gratifikasi dipidana penjara 3 tahun atau denda 150 juta rupiah. Hal ini disebabkan gratifikasi merupakan akar korupsi. Pelaku gratifikasi yang melaporkan tindakan gratifikasinya kepada KPK dalam kurun waktu kurang dari 30 hari dapat terbebaskan dari ancaman hukuman tersebut. Oleh karena itu, dianjurkan untuk menolak gratifikasi pada kesempatan pertama.
Syarat bahwa gratifikasi wajib dilaporkan adalah segala bentuk penerimaan yang diduga memiliki keterkaitan dengan jabatan atau bertentangan dengan kewajiban dan tugas ASN, sedangkan gratifikasi yang tidak wajib dilaporkan adalah segala bentuk penerimaan yang mempunyai karakteristik berlaku umum, tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, dipandang sebagai wujud ekspresi, keramahtamahan dalam hubungan sosial dan merupakan bentuk penerimaan yang berada dalam ranah ada istiadat, kebiasaan, dan norma di masyarakat dengan batasan nilai yang wajar. Adapun bila ASN diminta untuk memberikan gratifikasi, maka wajib ditolak dengan memberikan penjelasan.
Selain pengenalan terhadap gratifikasi, disampaikan pula pengenalan terhadap lembaga dan fasilitas pendukung pengendalian gratifikasi di KKP, yaitu Unit Pengendalian Gratifikasi (UPG) KKP dan rencana pembentukan UPG pada tiap unit kerja Eselon I dan Unit Pelaksana Teknis (UPT). Fasilitas pelaporan gratifikasi tersedia melalui aplikasi online di alamat upg.kkp.go.id ataupun email Alamat email ini dilindungi dari robot spam. Anda memerlukan Javascript yang aktif untuk melihatnya. atau secara langsung ke UPG KKP atau KPK RI. Terkait pelaporan, narasumber menjelaskan mekanisme dan tindak lanjut pelaporan gratifikasi sejak laporan diterima dari Pelapor hingga terbitnya SK putusan atas benda gratifikasi tersebut. Berdasarkan putusan tersebut, benda gratifikasi dapat menjadi milik Negara, dikelola instansi, maupun menjadi milik Pelapor. Bahkan KPK telah mengatur tentang prosedur penebusan benda gratifikasi untuk dimiliki oleh pelapor apabila diputuskan menjadi milik Negara.